1.
Permintaan
Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja berarti hubungan antara tingkat
upah dan jumlah tenaga kerja yang dikehendaki oleh pengusaha untuk
dipekerjakan. Hal ini berbeda dengan permintaan konsumen terhadap barang dan
jasa. Orang membeli barang dan jasa karena barang itu memberikan nikmat
(utility) kepada si pembeli sementara pengusaha mempekerjakan seseorang karena
untuk membantu memproduksikan barang/jasa untuk dijual kepada konsumen. Oleh
karena itu kenaikan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung dari
kenaikan permintaan konsumen akan barang yang diproduksinya. Permintaan tenaga
kerja seperti itu disebut derived demand (Payaman Simanjuntak, 2001).
Permintaan tenaga
kerja berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan atau
instansi tertentu. Biasanya permintaan akan tenaga kerja ini dipengaruhi oleh
perubahan tingkat upah dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan
hasil (Soni Sumarsono, 2003).
1.2
Kurva Permintaan Tenaga Kerja
Fungsi permintaan
tenaga kerja biasanya didasarkan pada teori ekonomi neoklasik, di mana dalam
ekonomi pasar diasumsikan bahwa pengusaha tidak dapat mempengaruhi harga pasar
(price taker). Dalam hal memaksimalkan laba, pengusaha hanya dapat mengatur
berapa jumlah tenaga kerja yang dapat dipekerjakan. Fungsi permintaan tenaga
kerja didasarkan pada : (1) tambahan hasil marjinal, yaitu tambahan hasil
(output) yang diperoleh dengan penambahan seorang pekerja atau istilah lainnya
disebut Marjinal Physical Product dari tenaga kerja (MPPL), (2) penerimaan
marjinal, yaitu jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil
marjinal tersebut atau istilah lainnya disebut Marginal Revenue (MR).
Penerimaan marjinal di sini merupakan besarnya tambahan hasil marjinal
dikalikan dengan harga per unit, sehingga MR = VMPPL = MPPL. P, dan (3) biaya
marjinal, yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan
tambahan seorang pekerja, dengan kata lain upah karyawan tersebut. Apabila
tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya marjinal, maka
mempekerjakan orang tersebut akan menambah keuntungan pemberi kerja, sehingga
ia akan terus menambah jumlah pekerja selama MR lebih besar dari tingkat upah
(Bellante dan Jackson, 1990).
Value Marginal
Physical Product of Labor atau VMPP adalah nilai pertambahan hasil marjinal
dari tenaga kerja. P adalah harga jual barang per unit, DL adalah permintaan
tenaga kerja, W adalah tingkat upah, dan L adalah jumlah tenaga kerja.
Peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja tergantung dari pertambahan
permintaan masyarakat terhadap barang yang dikonsumsinya. Semakin tinggi
permintaan masyarakat akan barang tertentu, maka jumlah tenaga kerja yang
diminta suatu lapangan usaha akan semakin meningkat dengan asumsi tingkat upah
tetap.
Peningkatan jumlah
tenaga kerja dalam suatu lapangan usaha tidak dilakukan untuk jangka pendek,
walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan tinggi. Dalam
jangka pendek, pengusaha lebih mengoptimalkan jumlah tenaga kerja yang ada
dengan penambahan jam kerja atau penggunaan mekanisasi, sedangkan dalam jangka
panjang kenaikan jumlah permintaan masyarakat akan direspon dengan menambah
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Hal ini berarti terjadi peningkatan
penyerapan tenaga kerja baru.
Marginal Revenue
Product atau MRP dari suatu input variabel adalah penerimaan tambahan yang
diperolah suatu perusahaan dengan mempekerjakan unit input tambahan, cateris
paribus. Jika tenaga kerja adalah faktor variabel, misalnya merekrut unit
tambahan akan menghasilakan output tambahan (produk marginal dari tenaga
kerja). Penjualan output tambahan itu akan menghasilkan penerimaan. Produk
penerimaan marginal adalah penerimaan yang diproduksi dengan menjual barang
atau jasa yang diproduksi oleh unit marginal tenaga kerja. Dalam perusahaan bersaing, produk penerimaan
marginal adalah nilai produk marginal suatufactor(CaseanFair,2007).
Dengan menggunakan
tenaga kerja sebagai faktor variabel, kita bisa menyatakan dalil ini dengan
lebih formal dengan mengatakan jika MPL adalah produk tenaga kerja marginal dan
PX adalah harga output, maka produk penerimaan marginal dari tenaga kerja
adalah MRPL = MPL X PX (Case and Fair, 2007).
Menurut Simanjuntak
(1985), dasar yang digunakan pengusaha untuk menambah atau mengurangi jumlah
karyawan adalah: Pertama-tama sang pengusaha perlu memperkirakan tambahan hasil
(output) yang diperoleh pengusaha sehubungan dengan penambahan seorang
karyawan. Tambahan hasil tersebut dinamakan tambahan hasil marjinal atau
marginal physical product dari karyawan, atau disingkat MPPL. Kedua, pengusaha
menghitung jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil
marginal tersebut. Jumlah uang ini dinamakan penerimaan marginal atau marginal
revenue, yaitu nilai MPPL tadi. Jadi, marginal revenue sama dengan nilai dari
MPPL, yaitu besarnya MPPL dikalikan dengan harganya per unit (P).
Jadi:
|
VMPPL : Value marginal physical product of labor, nilai pertambahan hasil marginal dari karyawan
MPPL : Marginal physical product of labor
P : Harga jual barang yang diproduksikan per unit.
Akhirnya pengusaha membandingkan MR
tersebut dengan biaya mempekerjakan tambahan seorang tadi. Jumlah biaya yang
dikeluarkan pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan tambahan seorang karyawan
adalah upahnya sendiri (W) dan dinamakan biaya marjinal atau marginal cost
(MC). Bila tambahan pemerimaan marjinal (MR) lebih besar dari biaya
mempekerjakan orang yang menghasilkannya (W), maka mempekerjakan tambahan orang
tersebut akan menambah keuntungan pengusaha. Dengan kata lain dalam rangka
menambah keuntungan, pengusaha akan terus menambah jumlah karyawan selama MR lebih
besar dari W (Simanjuntak,1985).
Misalnya tenaga kerja
terus ditambah sedangkan alat-alat dan faktor produksi lain jumlahnya tetap.
Maka perbandingan alat-alat produksi untuk setiap pekerja menjadi lebih kecil
dan tambahan hasil marginal menjadi lebih kecil pula. Dengan kata lain, semakin
bertambah karyawan yang dipekerjakan, semakin kecil MPPL-nya dan nilai MPPL itu
sendiri. Ini yang dinamakan hukum diminishing returns dan dilukiskan dengan
garis DD dalam berikut :
Hukum Diminishing Returns, Fungsi Permintaan Terhadap Tenaga Kerja (Simanjuntak, 1985)
Hukum Diminishing Returns, Fungsi Permintaan Terhadap Tenaga Kerja (Simanjuntak, 1985)
Garis DD melukiskan besarnya nilai hasil marginal karyawan (value marginal
physical product of labor atau VMPPL) untuk setiap tingkat penempatan. Bila
misalnya jumlah karyawan yang dipekerjakan sebanyak 0A=100 Orang, maka nilai
hasil kerja orang yang ke-100 dinamakan VMPPL nya dan besarnya sama dengan MPPL
x P = W1. Nilai ini lebih besar dari tingkat upah yang sedang berlaku (W). Oleh
sebab itu laba pengusaha akan bertambah dengan menambah tenaga kerja baru.
Pengusaha dapat terus menambah laba perusahaan dengan memperkerjakan tenaga
kerja hingga ON. Di titik N pengusaha mencapai laba maksimum dan nilai MPPL x P
sama dengan upah yang dibayarkan pada karyawan. Dengan kata lain pengusaha
mencapai laba maksimum bila MPPL x P = W . Penambahan tenaga kerja yang lebih
besar dari pada ON, misalnya OB akan mengurangi keuntungan pengusaha. Pengusaha
membayar upah pada tingkat yang berlaku (W), padahal hasil nilai marginal yang
diperolehnya sebesar W2 yang lebih kecil dari pada W. Jadi pengusaha cenderung
untuk menghindari jumlah karyawan yang lebih besar dari pada ON. Penambahan
karyawan yang lebih besar dari ON dapat dilaksanakan hanya bila pengusaha yang
bersangkutan dapat membayar upah dibawah W atau pengusaha dapat menaikkan harga
jual barang (Simanjuntak, 1985).
1.3
Determinan Permintaan Tenaga Kerja
Menurut Arfida (2003), permintaan tenaga kerja
adalah hubungan antara tingkat upah (yang dilihat dari perspektif seorang
majikan adalah harga tenaga kerja) dan kuantitas tenaga kerja yang
dikehendaki oleh majikan untuk dipekerjakan (dalam hal ini dapat dikatakan
dibeli).
Menurut Simanjuntak (1985), pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksinya (derived demand). Permintaan tenaga kerja berkaitan dengan (Arfida, 2003): 1) Tingkat upah Makin tinggi tingkat upah, makin sedikit tenaga kerja yang diminta. Begitu pula sebaliknya. 2) Teknologi Kemampuan menghasilkan tergantung teknologi yang dipakai. Makin efektif teknologi, makin besar artinya bagi tenaga kerja dalam mengaktualisasi ketrampilan dan kemampuannya. 3) Produktivitas Produktivitas tergantung modal yang dipakai. Keleluasaan modal akan menaikkan produktivitas kerja. 4) Kualitas tenaga kerja Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang merupakan indeks kualitas tenaga kerja mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Begitu pula keadaan gizi mereka. 5) Fasilitas modal Dalam realisasinya, produk dihasilkan atas sumbangan modal dan tenaga kerja yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dikarenakan peranan input yang lain dapat merupakan faktor penentu lain. |
Menurut Sumarsono (2003), permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh
perubahan tingkat upah dan perubahan faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan
hasil.
1.Perubahan tingkat upah
Perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan.
2. Perubahan permintaan pasar akan hasil produksi dari perusahaan yang bersangkutan .
Apabila permintaan akan hasil produksi perusahaan meningkat, perusahaan cenderung untuk menambah kapasitas produksinya. Untuk maksud tersebut perusahaan akan menambah penggunaan tenaga kerjanya.
3. Harga barang modal turun
Apabila harga barang modal turun, maka biaya produksi turun dan tentunya mengakibatkan harga jual barang per unit ikut turun. Pada keadaan ini perusahaan akan cenderung meningkatkan produksi karena permintaan hasil produksi bertambah besar. Disamping itu permintaan akan tenaga kerja dapat bertambah besar karena peningkatan kegiatan perusahaan.
Perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan.
2. Perubahan permintaan pasar akan hasil produksi dari perusahaan yang bersangkutan .
Apabila permintaan akan hasil produksi perusahaan meningkat, perusahaan cenderung untuk menambah kapasitas produksinya. Untuk maksud tersebut perusahaan akan menambah penggunaan tenaga kerjanya.
3. Harga barang modal turun
Apabila harga barang modal turun, maka biaya produksi turun dan tentunya mengakibatkan harga jual barang per unit ikut turun. Pada keadaan ini perusahaan akan cenderung meningkatkan produksi karena permintaan hasil produksi bertambah besar. Disamping itu permintaan akan tenaga kerja dapat bertambah besar karena peningkatan kegiatan perusahaan.
1.4
Elastisitas
Penawaran Tenaga Kerja
Elastisitas
akan permintaan tenaga kerja di definisikan sebagai persentase perubahan
permintaan akan tenaga kerja sehubungan dengan perubahan tingkat upah sebanyak
1 persen.Secara umum di tuliskan dalam persamaan:
e =
Dimana :
Ø e = adalah
elastisitas permintaan akan tenaga kerja,
Ø N = adalah
perubahan jumlah pekerja yang terjadi
Ø N = adalah
jumlah yang bekerja mula-mula
Ø W = adalah
tingkat upah yang sedang berlaku
Rumus dapat
ditulis dalam bentuk :
e = x
Artinya bila
tingkat upah naik, jumlah orang yang di pekerjakan menurun, dan sebaliknya.
Jadi dalam persamaan hubungannya negatif.
Penduduk yang bekerja terserap dan tersebar di berbagai sektor seperti
pertanian, keuangan, perdagangan dan lain sebagainya. Tiap sektor mengalami
laju pertumbuhan yang berbeda. Laju pertumbuhan yang berbeda tersebut mengakibatkan
dua hal. Pertama, terdapat perbedaan
laju peningkatan produktivitas kerja di masing-masing sektor. Kedua, secara berangsur-angsur terjadi perubahan sektoral, baik dalam
penyerapan tenaga kerja maupun dalam kontribusinya terhadap pendapatan nasional.
Perbedaan laju pertumbuhan pendapatan regional dan kesempatan kerja tersebut,
juga menunjukkan perbedaan elastisitas masing-masing sektor untuk penyerapan
tenaga kerja. Besar
kecilnya elastisitas permintaan tergantung dari empat faktor (Simanjuntak, 1998) yaitu:
a)
Kemungkinan
substitusi tenaga kerja dengan factor produksi yan lain, misalnya modal.
·
Jika tingkat upah
naik secara umum akan terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang diminta.
b) Elastisitas permintaan terhadap barang yang dihasilkan.
·
Seperti dijelaskan
sebelumnya kenaikan tingkat upah akan dapat menurunkan permintaan terhadap
tenaga kerja.
c)
Proporsi biaya karyawan
terhadap seluru biaya produksi.
·
Besarnya proporsi biaya
karyawan terhadap keseluruhan biaya produksi searah dengan elastisitas permintaan
terhadap tenga kerja.
d) Elastisitas
penyediaan dari bahan-bahan pelengkap dalam produksi seperti
modal,
tenaga listrik, bahan-bahan dan lain-lain.
·
Dalam hal ini
elastisitas permintaan terhadap tenaga kerja juga searah dengan elastisitas
penyediaan dari bahan-bahan pelengkap dalam proses produksi.
1.
Kesempatan Kerja (KK) Sektoral
Permintaan
terhadap tenaga keria selain dapat dilihat secara mikro yaitu dari segi
perusahaan juga dapat dilihat secara makro baik secara sektoral. jenis jabatan,
pendidikan, status hubungan kerja dan lain-lainnya. Pendekatan secara makro
melihat permintaan tenaga kerja menurut propinsi, kabupaten, maupun Negara. Permintaan
tenaga kerja secara makro juga sering dikenal dengan istilah kesempatan keria
atau jumlah orang yang bekeria atau pekeria. Konsep bekeria atau kesempatan
kerja mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Konsep bekerja ini digunakan
oleh Badan Pusat
Statistik BPS) dalam mendata jumlah penduduk yang bekerja baik dan sensus
penduduk maupun survai penduduk. Berikut ini akan disampaikan konsep penduduk
yang bekeria pada beberapa periode sensus penduduk.
2.
Kesempatan Kerja Menurut Status Hubungan Kerja
Bagi kebanyakan negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. tingkat pengangguran terbuka (open unemployment) yang dipublikasikan umumnya rendah, bahkan mungkin lebih rendah
daripada negara maju. Status
hubungan kerja ini sering juga diistilahkan sebagai status pekerjaan seperti
yang digunakan oleh BPS dalam mendata pekerja menurut status hubungan kerianya status pekeriaan ini dibagi ke
dalam 5 katagori sebagai berikut.
1). Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain.
2). Berusaha dengan bantuan anggota rumah tangga/Buruh tidak tetap.
3). Berusaha dengan buruh tetap
4). Buruh/karyawan.
5). Pekerja keluarga.
Kelima katagori status pekeriaan tersebut di dalam
analisis tentang kondisi ketenagakeriaan, seringkali dibagi menjadi 2 kelompok
status pekeriaan yaitu :
1)
formal : Status pekeriaan yang
tergolong formal terdiri dari
·
mereka yang berusaha dengan dibantu buruh
tetap;
·
buruh karyawan.
2) Informal : Status pekeriaan
yang tergolong formal terdiri dari
·
mereka yang berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain;
·
mereka
yang berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap;
·
pekeria keluarga
Pada umumnya pekerjaan di sektor informal
melibatkan mereka dengan pendidikan yang relatif rendah, ketrampilan rendah,
sehingga cenderung penghasilan pekeria di sektor informal juga relatif rendah.
Dengan lebih banyaknya persentase pekeria yang mengandalkan hidupnya di sektor
informal, maka masyarakat yang menjadi tanggungan dari pekeria sektor informal
tersebut juga cenderung akan lebih banyak dibandingkan dengan tanggapan mereka
yang terlibat di sektor formal. Maka tidaklah mengherankan jika ahli
ketenagakeriaan menyatakan bahwa sektor informal merupakan katup pengaman bagi
perekonomian Indonesia. Sethuraman
(1975) mengemukakan beberapa ciri sektor informal dari hasil penelitiannya di
beberapa Negara Asia termasuk di Indonesia antara lain :
1) menggunakan teknologi tradisional
2) memproses bahan mentah lokal
3) tidak memiliki akses terhadap perusahaan
4) tidak terjangkau oleh sistem perijinan dan
perpajakan
5) bermodal kecil
3.
Kesempatan Kerja Menurut Status Jenis Jabatan
Secara internasional sudah ada klasifikasi baku
mengenai jenis jabatan yang terbuat dalam ISCO nternational standard
clasification of occupation). Di Indonesia klasifikasi jenis jabatan ini
disebut dengan KI (Klasifikasi Jabatan Indonesia). KUI bagi jenis jabatan
menjadi 8 buah golongan pokok jabatan. Golongan pokok jabatan tersebut dibagi lagi ke
dalam 83 golongan jabatan, yang selanjutnya dibagi menjadi 295 kelompok jabatan
dan akhirnya dibagi menjadi 1.688 nama jabatan. Adapun golongan pokok jabatan
tersebut adalah sebagai berikut.
Kode Golongan Pokok
1
Tenaga Profesional, Teknisi dan yang sejenisnya
2
Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan
3
Tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenisnya
4
Tenaga usaha penjualan
5
Tenaga usaha jasa
6
Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan
dan Perikanan
7/8/9 Tenaga produksi, operator alat angkutan dan
pekerja kasar
X Lainnya (tenaga yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam salah satu jabatan).
Berdasarkan jenis jabatan, pekerjaan yang ada
dapat dibagi kedalam 2 kelompok yaitu tenaga kerja kantoran (white Collar
worker) dan tenaga kerja kasar (Blue Collar worker. Untuk mengetahui bagaimana
distribusi kerja menurut jenis jabatan BPS telah mendata hal tersebut baik melalui sensus
penduduk maupun survai penduduk sehingga dapat diketahui perkembangan pekeria
di Indonesia menurut jenis pekerjaannya.
- Kesempatan Kerja Menurut Pendidikan
Selain pada katagori-katagori yang telah
disampaikan sebelumnya, pekerja juga dapat diklasifikasikan ke dalam pendidikan
yang mereka miliki. Klasifikasi ini sangat penting dalam memahami masalah
ketenagakerjaan mengingat pendidikan merupakan salah satu cermin kualitas dari
pekeria tersebut. Jenis pendidikan juga dapat menentukan jenis pekerjaan yang
dimiliki maupun status pekerjaannya.
- Kesempatan Kerja Menurut Status Hubungan Kerja
Bagi kebanyakan negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. tingkat pengangguran terbuka (open unemployment) yang dipublikasikan umumnya rendah, bahkan mungkin lebih rendah
daripada negara maju. Status
hubungan kerja ini sering juga diistilahkan sebagai status pekerjaan seperti
yang digunakan oleh BPS dalam mendata pekerja menurut status hubungan kerianya status pekeriaan ini dibagi ke
dalam 5 katagori sebagai berikut.
1). Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain.
2). Berusaha dengan bantuan anggota rumah tangga/Buruh tidak tetap.
3). Berusaha dengan buruh tetap
4). Buruh/karyawan.
5). Pekerja keluarga.
Kelima katagori status pekeriaan tersebut di dalam
analisis tentang kondisi ketenagakeriaan, seringkali dibagi menjadi 2 kelompok
status pekeriaan yaitu :
3)
formal : Status pekeriaan yang
tergolong formal terdiri dari
·
mereka yang berusaha dengan dibantu buruh
tetap;
·
buruh karyawan.
4) Informal : Status pekeriaan
yang tergolong formal terdiri dari
·
mereka yang berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain;
·
mereka
yang berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap;
·
pekeria keluarga
Pada umumnya pekerjaan di sektor informal
melibatkan mereka dengan pendidikan yang relatif rendah, ketrampilan rendah,
sehingga cenderung penghasilan pekeria di sektor informal juga relatif rendah.
Dengan lebih banyaknya persentase pekeria yang mengandalkan hidupnya di sektor
informal, maka masyarakat yang menjadi tanggungan dari pekeria sektor informal
tersebut juga cenderung akan lebih banyak dibandingkan dengan tanggapan mereka
yang terlibat di sektor formal. Maka tidaklah mengherankan jika ahli
ketenagakeriaan menyatakan bahwa sektor informal merupakan katup pengaman bagi
perekonomian Indonesia. Sethuraman
(1975) mengemukakan beberapa ciri sektor informal dari hasil penelitiannya di
beberapa Negara Asia termasuk di Indonesia antara lain :
1) menggunakan teknologi tradisional
2) memproses bahan mentah lokal
3) tidak memiliki akses terhadap perusahaan
4) tidak terjangkau oleh sistem perijinan dan
perpajakan
5) bermodal kecil
- Kesempatan Kerja Menurut Status Jenis Jabatan
Secara internasional sudah ada klasifikasi baku
mengenai jenis jabatan yang terbuat dalam ISCO nternational standard
clasification of occupation). Di Indonesia klasifikasi jenis jabatan ini
disebut dengan KI (Klasifikasi Jabatan Indonesia). KUI bagi jenis jabatan
menjadi 8 buah golongan pokok jabatan. Golongan pokok jabatan tersebut dibagi lagi ke
dalam 83 golongan jabatan, yang selanjutnya dibagi menjadi 295 kelompok jabatan
dan akhirnya dibagi menjadi 1.688 nama jabatan. Adapun golongan pokok jabatan
tersebut adalah sebagai berikut.
Kode Golongan Pokok
7
Tenaga Profesional, Teknisi dan yang sejenisnya
8
Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan
9
Tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenisnya
10
Tenaga usaha penjualan
11
Tenaga usaha jasa
12
Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan
dan Perikanan
7/8/9 Tenaga produksi, operator alat angkutan dan
pekerja kasar
X Lainnya (tenaga yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam salah satu jabatan).
Berdasarkan jenis jabatan, pekerjaan yang ada
dapat dibagi kedalam 2 kelompok yaitu tenaga kerja kantoran (white Collar
worker) dan tenaga kerja kasar (Blue Collar worker. Untuk mengetahui bagaimana
distribusi kerja menurut jenis jabatan BPS telah mendata hal tersebut baik melalui sensus
penduduk maupun survai penduduk sehingga dapat diketahui perkembangan pekeria
di Indonesia menurut jenis pekerjaannya.
- Kesempatan Kerja Menurut Pendidikan
Selain pada katagori-katagori yang telah
disampaikan sebelumnya, pekerja juga dapat diklasifikasikan ke dalam pendidikan
yang mereka miliki. Klasifikasi ini sangat penting dalam memahami masalah
ketenagakerjaan mengingat pendidikan merupakan salah satu cermin kualitas dari
pekeria tersebut. Jenis pendidikan juga dapat menentukan jenis pekerjaan yang
dimiliki maupun status pekerjaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar