Jumat, 30 September 2016

Peran Bank Indonesia Dibidang Sistem Pembayaran

Peran Bank Indonesia Dibidang Sistem Pembayaran
            Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23 Th. 1999 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Th. 2009, Bank Indonesia berwenang untuk memberikan kebijakan, mengatur, melaksanakan, dan memberikan persetujuan, perizinan, dan pengawasan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Selain itu, Bank Indonesia juga mempunyai transaksi-transaksi yang harus dilaksanakan seperti setelmen operasi pasar terbuka, menyelesaikan tagihan-tagihan gaji, dan pension, serta transaksi yang terkait dengan rekening pemerintah dan lembaga keuangan internasional yang ada di Bank Indonesia.


2.1.2    Bank Indonesia Sebagai Regulator
            Salah satu peran pokok Bank Indonesia dalam sistem pembayaran adalah sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator pengembangan sistem pembayaran di Indonesia. Berbagai peran Bank Indonesia tersebut diatur dalam berbagai ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang antara lain memuat:
1.      Cakupan wewenang dan tanggung jawab penyelenggara sistem pembayaran, termasuk tanggung jawab yang berkaitan dengan manajemen risiko,
2.      Jenis penyelenggaran sistem pembayaran dan prosedur pemberian persetujuan,
3.      Persyaratan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,
4.      Penyelenggara jasa sistem pembayaran wajib menyampaikan laporan, jenis laporan kegiatan, dan tata cara penyampaian,
5.      Jenis dan persyaratan keamanan istrumen pembayaran yang dapat digunakan di Indonesia termasuk instrument pembayaran elektronis, seperti kartu ATM, kartu debet, kartu kredit, kartu prabayar, dan kartu elektronik,
6.      Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
7.      Fasilitas pelaku industri antara lain dalam penyusunan standar dan guideline bagi penyelenggara sistem pembayaran serta bentuk SRO (Self Regulatory Organization) adalah organisasi yang dibentuk oleh suatu industri seperti industri kartu kredit diIndonesia membentuk AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia). SRO ini akan mengisi kekosongan aturan dari otoritas. Bank Indonesia terus berupaya menyempurnakan dan mengembangkan sistem yang ada, sesuai dengan rencana pengembangan sistem pembayaran nasional.
Untuk mewujudkan adanya suatu sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal, Bank Indonesia secara terus menerus melakukan penyempurnaan dan pengembangan terhadap sistem yang telah ada sesuai dengan perencanaan sistem pembayaran nasional. Penyempurnaan dan pengembangan tersebut direalisasikan dalam bentuk kebijakan, pengembangan mekanisme dan infrastruktur serta ketentuan yang diarahkan untuk mengurangi risiko pembayaran antar bank, dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran. Sebagai contoh, dalam menjalankan peran sebagai regulator pada sistem pembayaran bernilai besar, Bank Indonesia menetapkan landasan hukum yang kuat untuk penerapan sistem BI-RTGS dan menentukan peran dan tanggung jawab penyelenggara dan peserta BI-RTGS.


2.1.3    Bank Indonesia Sebagai Lembaga Pengawas
            Terdapat pada UU bank Indonesia dan UU Transfer Dana, Bank Indonesia sebagai otoritas system pembayaran selain memiliki kewenangan di bidang pengaturan dan perijinan system pembayaran, juga berwewenang untuk melakukan pengawasan, pemantauan atau pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa system pembayaran baik yang dilakukan oleh perbankan maupun non bank.
            Dalam kaitannya dengan pengawasan system pembayaran, Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat memperoleh layanan jasa system pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Dalam memantau penyelenggaraan system pembayaran, bank Indonesia mewajibkan selurtuh penyelenggara system pembayaran di inbdonesia untuk menyampaikan laporan. Hal ini dimaksudkan juga untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Dalam menjalankan peran sebagai pengawas (Overseer), BI memastikan bahwa penyelenggara BI-RTGS memenuhi prinsip pada 10  core principles for systematically Important Payment System (CP-SIPS) dari Bank for International Settlement seperti yang diatur dalam peraturan system BI-RTGS untuk mendukung stabilitas system keuangan dengan memperhatikan prinsip perlindungan konsumen. Objek pengawasan system pembayaran meliputi baik system yang non-SIPS, seperti  BI-RTGS dan BI-SSSS, maupun system pembayaran yang non-SIPS seperti SKNBI, APMK, Uang Elektronik dan Penyelenggara Transfer Data (PTD). Fungsi pengawasan dilakukan melalui pembuatan ketentuan, pertemuan konsultasi dengan penyelenggara, monitoring dan assessment
            Salah satu bentuk kegiatan pengawasan yang dilakukan adalah mewajibkan penyelenggara dan peserta memiliki standar pengamanan dan efisiensi operasional yang memadai serta selalu mematuhi berbagai ketentuan. Bank Indonesia seperti ketentuan perlinfungan konsumen, manajemen resiko, serta Anti Pencucian Uang dan Pencegahana Pendanaan Terorisme (APU dan PPT).
            Untuk menilai keamanan penyelenggara BI-RTGS, Bank Indonesia dapat meminta auditor / pemeriksa. Teknologi Informasi Independen untuk melakukan kegiatan  security audit. Kegiatan audit ini  dilakukan terhdap aplikasi maupun network/ jaringan yang digunakan dalam system BI-RTGS, tujuannya adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa system BI-RTGS yang diselenggarakan telah aman dan andal. Selain itu Bank Indonseia telah mewajibkan penyelenggara dan seluruh peserta untuk melakukan uji coba terhadap back up dan rencana penanggulangannya kondisi darurat secara periodic. Pemenuhan persyaratan sebagai peserta dan kepatuhan peserta terhdap ketentuan yang ditetapkan oleh penyelenggara RTGS juga menjadi satu perhatian dalam kegiatan pengawasn, disamping pemenuhan kewajiban untuk melaporkan hasil pemeriksaan internal terhadap operasional RTGS di sisi peserta.



2.2.3    Bank Indonesia sebagai Fasilitator Sistem Pembayaran
            Sebagai fasilitator, Bank nIndonesia berperan dalam mengarahkan perkembangan system pembayaran nasional dan mendukung upaya penciptaan industry system pembayaran yang lebih efisien. Peran Bank Indonesia sebagai fasilitator banyak tercermin dalam perkembangan system pembayaran ritel  dan mikro yang dilaksanakan oleh industry pembayaran ritel dan mikro, seperti mendorong interoperabilitas anterpenyelenggara, standarisasi kartu untuk pembayaran (ATM, Kart debit) dan e-money, serta perkembangan National Payment Gateway (NPG) untuk pembayaran ritel dan mikro. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan stakeholders terkait untuk mengimplementasikan inisiatif dimaksud. Tujuan dari langkah tersebut adalah untuk menemukan solusi atas masalah spesifik terkait system  pembayaran ritel / mikro, yang juga mendorong inovasi dalam industry pembayaran ritel dan mikro. Peran Bank Indonseia lainnya sebagai fasilitator juga tercermin pada diterbitkannya  peraturan Bank Indonesia No.16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran, dimana system pembayaran, salah satunya adalah dengan memfasilitasi konsumen yang bersengketa dengan penyelenggara system pembayaran yang berindikasi adanya kerugian finansial bagi konsumen.



2.2.4    Bank Indonesia Sebagai Lembaga Penyelenggara kliring Antar Bank dan RTGS
Penyediaan jasa sistem pembayaran (transfer dana) di indonesia umumnya  dilakukan oleh perbankan dan PT pos indonesia.walaupun terdapat keterkaitan antara kedua penyedia jasa tersebut, keduanya menggunakan sistem yang berbeda. Alat pembayaran yang digunakan bank pada umumnya berbasis warkat dan data elektronik dengan penyelesaian melalui kliring lokal atau antar daerah yang sebagian besar dilakukan melalui porses kliring di Bank indonesia.
Sebagai bagian dara pelaksanaan tugas bank,indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, pasal 17 ayat 1 UU BI menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang rupian dan/atau valuta asing dilakukan oleh Bank indonesia atau pihak lain dengan persetujuan dari Bank indonesia.
Pengertian kliring menurut peraturan Bank indonesia No.7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 12/5/PBI/2010 tanggal 12 maret 2010 (PBI SKNBI) adalah pertukaran data kliring elektronik dan/atau warkat antarpeserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

Tujuan utama dilaksanakan kliring adalah:
1.      untuk memperlancar lalu lintas pembayaran giral antarbank diseluruh indonesia.
2.      untuk melaksanakan perhitungan penyelesaian utang piutang agar lebih mudah, aman, dan efisien; dan
3.      menjadi salah satu bentuk pelayanan sistem pembayaran bank kepada nasabah.
Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi kliring secara net multiterar pada hari yang sama (T+0). Penyelesaian transaksi kliring secara net muliteral dilakukan dengan memperhitungkan selisih (netral) antara kewajiban dan tagihan antarbank. Yang dimaksud dengan kewajiban adalah setiap transfer kredit keluar yang ditunjukan pada bank atau nasabah bank lain, ataupun setiap transfer debet masuk (nota debet, Cek dan/atau Bilyet Giro) yang berasal dari bank lain. Adapun yang dimaksud tagihan adalah setiap transfer kredit masuk dari bank lain dan/atau transfer debet keluar (nota debet, Cek dan/atau Bilyet Giro) yang ditujukan kepada bank lain.
Pada masa lalu ketika kliring bertumpu sepenuhnya pada instrumen warkat penyelesaian perhitungan kliring dilakukan pada hari kerja berikutnya (T+1). Hal ini disebabkan oleh beban proses warkat yang relatif membutuhkan waktu proses yang lama.khususnya untuk pemrosesan warkat Cek dan/atau Bilyet Giro yang membutuhkanwaktu prosen tambahan oleh bank untuk meneliti kecukupan dana nasabah dan melakukan pengembalian warkan Cek dan/atau Bilyet Giro (retur) dalam kliring pengembalian. Pengembalian warkat Cek dan/atau Bilyet Giro dalam kliring retur atau kliring pengembalian dilakukan bila ternyata terdapat alasan penolak warkat, yaitu antara lain seperti saldo tidak cukup, syarat formal warkat tidak dipenuhi, dll. Dengan telah dilakukannya otomatisasi dan penyampaian instrumen kliring secara elektronik khususnya untuk perintah kredit dan debet (selain Cek dan Bilyet Giro), maka saat ini penyelesain kliring telah dapat dilakukan pada hari yang sama dengan hari kliring, bahkan pada Sistem Kliring Bank Indonesia, penyelesaian kliring dapat dilakukan beberapa kali pada hari yang sama sehingga efektivitas dan efisiensi sistem pembayaran di indonesia dapat semakin optimal dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.



a). Kliring Nasional Bank Indonesia
Sejak tahun 2005 secara bertahap Bank Indonesia menerapkan SKNBI dimulai dari wilayah Jakarta dan Bandung, serta Penyelenggara Kliring Lokan (PKL) untuk wilayah Kantor Pusat dan Kantor Bank Indonesia. Kecepatan penerimaan dana oleh nasabah penerima transfer kredit pada skala nasional menjadi lebih baik sejak SKN diplementasikan. Oprasional bank anggota SKN menjadi lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya karena digantinya nota kredit dengan alat pembayaran elektronik menyebabkan bank tidak perlu lagi mencetak nota kredit tersebiut. Desain SKN dirancang untuk memperoleh efisiensi optimum atau memenuhi seluruh prinsip yang terkandung dalan Bank for International Settlement Core Principles for Systemically Important Payment System (BISCP.SIPS). melalui SKNBIK keanekaragaman sistem kliring yang selama ini ada seperti sistem kliring manual, smi otomasi (SOKL) ataupun sistem otomasi kliring yang terdapat dalam suatu wilayah lokal tertentu, secara perlahan dapat diintegrasikan secara nasional sehingga terdapat keseragaman pelayanan kliring.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mencakup kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Sejak dioperasikan oleh Bank Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 2005, SKNBI telah berperan penting dalam pemrosesan aktivitas transaksi pembayaran, khususnya untuk memproses transaksi pembayaran yang termasuk dalam retail velue payment system (RVPS) atau transaksi-transaksi khususnya transaksi kredit yang bernilai relatif kecil (retail), yaitu transaksi-transaksi dibawah Rp.100 juta. Namun demikian, untuk transaksi-transaksi warkat debet seperti Cek dan Bilyet Giro, transaksinya tetap dilakukan melalui proses kliring meskipun nilainya melebihi Rp.100 juta.
Penyelenggaraan kliring kredit dilakukan secara nasional oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN). Transaksi yang dapat di kliringkan adalah transfer kredit yang berasal dari peserta di suatu wilayah kliring untuk ditujukan ke peserta lainnya di seluruh indonesia. Transfer kredit yang dikliringkan berbentuk Data Keuangan Elektronik (DKE). Sedangkan penyelenggaraan kliring debet dilakukan per wilayah kliring oleh Penyelenggara Kliring Lokal (PKL). Transaksi yang dikliringkan adalah transfer debet yang berasal dari warkat debet berupa Cek dan Bilyet Giro. Perbedaannya  dengan transfer kredit, pada kliring debet transfer debet yang dikliringkan adalah dalam bentuk DKE yang disertai dengan penyampaian warkat debet seperti Cek dan Bilyet Giro.
Sebagaimana diketahui, sistem penyelesaian kliring secara net settlement dapat menimbulkan suatu resiko bank bersaldo debet bagi Bank Indonesia selaku penyelenggara setelmen kliring, yaitu apabila hasil perhitungan antara kewajiban dan tagihan suatu bank tertentu ternyata menghasilkan hasil akhir yang bersifat negatif, yaitu dimana kewajiban bank dalam kliring bersifat lebih besar daripada tagihannya (kalah kliring) dan saldo bank pada Bamk indonesia tidak dapat menutuoi kekuranggannya. Oleh kerena itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya gagal bayar pada saat setelmen hasil kliring oleh peserta SKNBI, BI mewajibkan setiap peserta untuk menyiapkan sejumlah dana dengan jumlah tertentu pada setip awal hari sebelum kegiatan kliring kredit dan debet dimulai atau dikenal dengan istilah minimum prefund. Penyediaan minimum prefund pada kliring debet dapat berupa cash maupun collateral (surat berharga). Sedangkan penyediaan minimum prefund pada kliring kredit hanya dapat berupa cash. Kebijakan tersebut diterapkan untuk memenuhi prinsip-prinsip manajemen resiko atas penyelenggaraan kliring yang bersifat multiteral netting sesuai standar Core Principles yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement (BIS).
Prinsip umum SKNBI adalah sebagai berikut:
1)      Kliring terdiri atas kliring debet dan kliring kredit. Kegiatan kliring debet masih menyampaikan fisik warkat, sedangkan kliring kredit dilakukan secara paperless.
2)      Dasar perhitungan kliring adalah data keuangan elektronik (DKE).
3)      Penyampaian DKE oleh peserta kepada penyelenggara dapat dilakukan secara on-line atau off-line.
4)      Untuk mengurangi resiko setelmen, Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring telah menerapkan mekanisme failure to settle (FtS) dalam penyelenggaraan kliring, yaitu bank wajib menyediakan dana awal sebelum mengikuti kegiatan kliring debet dan kliring kredit. Penyediaan prefund kliring debet dilakukan dalam bentuk cash prefund atau collateral prefund pada kliring kredit dalam bentuk4 cash prefund.
5)      Jumlah minimum prefund yang harus disetorkan bank pada kliring debet sebesar incoming debet harian terbesar dalam 12 bulan terakhir, sedangkan pada kliring kredit satu rupiah.
6)      Bank yang tidak dapat memenuhi kewaajiban prefund tidak dapat mengikuti kegiatan kliring debet dan kliring kredit pada hari tersebut.
Sistem kliring nasional berbeda dengan sistem kliring lainnya yang sudah ada sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
1)      SKNBI memisahkan penyelenggarakan kliring antara kliring debet dan kliring kredit.
2)      Pada SKNBI perhitungan kriling kredit dilakukan secara nasional oleh pelenggara kliring nasional dan perhitungan kliring debet dilakukan oleh penyelenggaran kliring lokal. Adapun pada penyelenggara kliring lainnya, perhitungan kliring seluruhnya dilakukan oleh penyelenggara kliring lokal.
3)      Setelmen SKNBI terpisah antara kliring debet dan kliring kredit. Setelmen kliring debet dilakukan satu kali berdasarkan BSK nasional yang merupakan gabungan dari BSK lokal, sedangkan setelmen kliring kredit dilakukan secara nasional berdasarkan bilyet saldo kliring nasional. Setelmen dapat melakukan lebih dari satu kali.
4)      Penyelenggara SKNBI dibedakan atas penyelenggara kliring nasional dan penyelenggara kliring lokal.
5)      Terdapat mekanisme failure to settle dalam penyelenggara SKNBI, yaitu bank wajib menyediakan dana awal sebelum melakukan kegiatan kliring.
Dengan diterapkan SKNBI oleh bank indonesia, tidak saja memberikan manfaat yang signifikan bagi bank indonesia dan perbankan, namun juga bagi masyarakat luas pengguna sistem pembayaran ritel. Adapun manfaat diterafkannya SKNBI bagi bank indonesia adalah : (1) efesien waktu dan biaya operanasional kliring; dan (2) memenuhi prinsip manajemen resiko penyelengaraan kliring multilateral netting sesuai dengan Core principles yang ditetapkan oleh bank for indonesia settlement (BIS), sehingga dapat meniadakan resiko setelmen bagioi bank indonesia selaku penyelenggara kliring.
Sedangkan manfaat bagi bank adalah : (1) efesien biaya dan waktu operasional bank dalam percetakan dan proses administrasi warkat kredit ; 10 dan (2) semakin luasnya jangkuan layanan bank kepada masabah, Adapun manfaat SKNBI bagi masyarakat terutama adalah dengan  adanya beberapa kali jadwal penyelesaian kliring kredit dalam satu hari pada SKBNI, 11 maka dana yang ditransfer oleh pengirim dana akan diterima lebih cepat oleh penerima dana sehingga lebih dapat meningkatkan produktifitas perekonomian di dalam masyarakat.

b) Bank Indonesia Reak Time Gross Setelment
            Kebijakan bank indonesia di bidang sistem pembayaran diarahkan pada pengurangan dan pencegahan resiko pembayaran antar bank yang bersifat sistemik terutama yang diakibatnya adanya kegagalan dalam pembayaran bernilai  besar. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, di kembangkan sistem stelmen berbasis Gross dengan koneksi elektronik antar bank dan bank indonesia secara on-line. Sistem ini dikenal dengan nama sistem bank indonesia-real time gross stelemen (BI-RTGS). Sistem BI-RTTGS mampu menjadi sumber informasi yang bersifat untuk bank dan pelaksanaan kebijakan moneter.
            Sejak pertama kali dikembangkan dan dioprasikan oleh bank indonesia pada tanggal 17 november 2000, BI-RTGS berperan sangat penting dalam melakukan penyelesaian transaksi-transaksi pembayaran di masyarakat, khusus transaksi-transaksi pembayaran yang termasuk bernilai besar (hige velue payment system (HVPS), yaitu transaksi-transaksi yang bernilai Rp.100 juta keatas. Transaksi HVPS saat ini nilai nominalnya telah mencapai bangsa indonesia. Dengan jumlah nominal transaksi yang sangat besar tersebut, sitem BI_RTGS bersifat sangat signifikan dalam sistem keuangan indonesia dapat dikatagorikan sebagai sitem pembayaran nasional yang memiliki peran penting yang bersifat sistemik (sytemicaally important payment system(SIPS)). Sebagai diketahui, adanya sistem pembayaran yang aman andal dan efisien bersifat sangat penting dalam langka efektivitas dan efisiensi sistem keuangan dan perbankan di suatu negara. Dalam kaitan tersebut, sitem BI-RTGS saat ini tidak saja mampu melaksanakan transfer dana bernilai besar dengan aman, andal, dan efisien. Namun juga mampu menjadi sistem informasi lkeuangan ynag bermanfaat untuk early warning pengawasan bank sebagai sitem yang dapat diandalkan dalam transmisi pelaksanaan kebijakan moneter.
            Oleh karena itu, saat ini telah banyak terdapat berbagai inisatif dari berbagai lembaga internasional untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dengan memperkuat berbagai infastruktur keuangan di suatu negara. Salah satu inisiatif tersebut dilakyukan oleh committe on payment and settlement system (CPSS) yang terdiri dari gabungan seluruh bank sentral ( the central banks of the group of ten countris) yang telah menghasilkan konsensus internasional dalam mengembangkan core principles for sytemincally imporant payment system.
            Tujuan di kembangkannya BI-RTGS adalah:
1)      Menyediakan sarana transfer dan antar-bank yang lebih cepat, efesien, andal, dan aman;
2)      Memastikan setelmen dapat segera diproleh ;
3)      Menyediakan informasi rekening bank secara real time dan menyeluruh;
4)      Meningkatkan disiplin dan profesionalisme bank dalam mengelola likuiditasnya; dan
5)      Mengurangi resiko setelmen.

Dalam menjalankan peran sebagai pemyelenggara (operator system pembayaran,bank indonesia memiliki tanggung jawab antar lain:
1)      Menyelenggarakan BI-RTGS dengan menetapkan prinsip efesien,cepat,aman dan andal.
2)      Memberikan penjelaskan kepada peserta mengenai resiko finasial sehubungan keikutsertaanya dalam sitem BI-RTGS dan peserta harus menggelola resiko tersebut.
Memasukan kepatuhan peserta terhadap ketentuan yang telah tetapkan, termasuk penerima laporan internal audit terkait menyelenggaraan BI_RTGS oleh peserta.