Peran Bank Indonesia
Dibidang Sistem Pembayaran
Dalam rangka mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23 Th. 1999
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Th. 2009, Bank Indonesia
berwenang untuk memberikan kebijakan, mengatur, melaksanakan, dan memberikan
persetujuan, perizinan, dan pengawasan atas penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran. Selain itu, Bank Indonesia juga mempunyai transaksi-transaksi yang
harus dilaksanakan seperti setelmen operasi pasar terbuka, menyelesaikan
tagihan-tagihan gaji, dan pension, serta transaksi yang terkait dengan rekening
pemerintah dan lembaga keuangan internasional yang ada di Bank Indonesia.
2.1.2 Bank Indonesia Sebagai Regulator
Salah satu peran pokok Bank
Indonesia dalam sistem pembayaran adalah sebagai regulator, fasilitator, dan
katalisator pengembangan sistem pembayaran di Indonesia. Berbagai peran Bank
Indonesia tersebut diatur dalam berbagai ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia yang antara lain memuat:
1. Cakupan
wewenang dan tanggung jawab penyelenggara sistem pembayaran, termasuk tanggung
jawab yang berkaitan dengan manajemen risiko,
2. Jenis
penyelenggaran sistem pembayaran dan prosedur pemberian persetujuan,
3. Persyaratan
keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,
4. Penyelenggara
jasa sistem pembayaran wajib menyampaikan laporan, jenis laporan kegiatan, dan
tata cara penyampaian,
5. Jenis
dan persyaratan keamanan istrumen pembayaran yang dapat digunakan di Indonesia
termasuk instrument pembayaran elektronis, seperti kartu ATM, kartu debet,
kartu kredit, kartu prabayar, dan kartu elektronik,
6. Sangsi
terhadap pelanggaran ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
7. Fasilitas
pelaku industri antara lain dalam penyusunan standar dan guideline bagi
penyelenggara sistem pembayaran serta bentuk SRO (Self Regulatory Organization) adalah organisasi yang dibentuk oleh
suatu industri seperti industri kartu kredit diIndonesia membentuk AKKI
(Asosiasi Kartu Kredit Indonesia). SRO ini akan mengisi kekosongan aturan dari
otoritas. Bank Indonesia terus berupaya menyempurnakan dan mengembangkan sistem
yang ada, sesuai dengan rencana pengembangan sistem pembayaran nasional.
Untuk mewujudkan adanya suatu sistem pembayaran yang
efisien, cepat, aman, dan andal, Bank Indonesia secara terus menerus melakukan
penyempurnaan dan pengembangan terhadap sistem yang telah ada sesuai dengan
perencanaan sistem pembayaran nasional. Penyempurnaan dan pengembangan tersebut
direalisasikan dalam bentuk kebijakan, pengembangan mekanisme dan infrastruktur
serta ketentuan yang diarahkan untuk mengurangi risiko pembayaran antar bank,
dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran. Sebagai contoh,
dalam menjalankan peran sebagai regulator pada sistem pembayaran bernilai besar,
Bank Indonesia menetapkan landasan hukum yang kuat untuk penerapan sistem
BI-RTGS dan menentukan peran dan tanggung jawab penyelenggara dan peserta
BI-RTGS.
2.1.3 Bank Indonesia Sebagai Lembaga Pengawas
Terdapat pada UU bank Indonesia dan
UU Transfer Dana, Bank Indonesia sebagai otoritas system pembayaran selain
memiliki kewenangan di bidang pengaturan dan perijinan system pembayaran, juga
berwewenang untuk melakukan pengawasan, pemantauan atau pemeriksaan terhadap
penyelenggara jasa system pembayaran baik yang dilakukan oleh perbankan maupun
non bank.
Dalam kaitannya dengan pengawasan
system pembayaran, Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas
dapat memperoleh layanan jasa system pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan
aman. Dalam memantau penyelenggaraan system pembayaran, bank Indonesia
mewajibkan selurtuh penyelenggara system pembayaran di inbdonesia untuk menyampaikan
laporan. Hal ini dimaksudkan juga untuk memperoleh informasi yang diperlukan
dalam menunjang pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Dalam menjalankan peran sebagai pengawas (Overseer),
BI memastikan bahwa penyelenggara BI-RTGS memenuhi prinsip pada 10 core principles for
systematically Important Payment System (CP-SIPS) dari Bank for International Settlement
seperti yang diatur dalam peraturan system BI-RTGS untuk mendukung stabilitas
system keuangan dengan memperhatikan prinsip perlindungan konsumen. Objek
pengawasan system pembayaran meliputi baik system yang non-SIPS, seperti BI-RTGS dan BI-SSSS, maupun system pembayaran
yang non-SIPS seperti SKNBI, APMK, Uang Elektronik dan Penyelenggara Transfer
Data (PTD). Fungsi pengawasan dilakukan melalui pembuatan ketentuan, pertemuan konsultasi
dengan penyelenggara, monitoring dan assessment
Salah satu bentuk kegiatan pengawasan
yang dilakukan adalah mewajibkan penyelenggara dan peserta memiliki standar
pengamanan dan efisiensi operasional yang memadai serta selalu mematuhi
berbagai ketentuan. Bank Indonesia seperti ketentuan perlinfungan konsumen,
manajemen resiko, serta Anti Pencucian Uang dan Pencegahana Pendanaan Terorisme
(APU dan PPT).
Untuk menilai keamanan penyelenggara
BI-RTGS, Bank Indonesia dapat meminta auditor / pemeriksa. Teknologi Informasi
Independen untuk melakukan kegiatan
security audit. Kegiatan audit ini
dilakukan terhdap aplikasi maupun network/ jaringan yang digunakan dalam
system BI-RTGS, tujuannya adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa system
BI-RTGS yang diselenggarakan telah aman dan andal. Selain itu Bank Indonseia
telah mewajibkan penyelenggara dan seluruh peserta untuk melakukan uji coba
terhadap back up dan rencana penanggulangannya kondisi darurat secara periodic.
Pemenuhan persyaratan sebagai peserta dan kepatuhan peserta terhdap ketentuan
yang ditetapkan oleh penyelenggara RTGS juga menjadi satu perhatian dalam
kegiatan pengawasn, disamping pemenuhan kewajiban untuk melaporkan hasil
pemeriksaan internal terhadap operasional RTGS di sisi peserta.
2.2.3 Bank Indonesia sebagai Fasilitator Sistem
Pembayaran
Sebagai fasilitator, Bank nIndonesia
berperan dalam mengarahkan perkembangan system pembayaran nasional dan
mendukung upaya penciptaan industry system pembayaran yang lebih efisien. Peran
Bank Indonesia sebagai fasilitator banyak tercermin dalam perkembangan system
pembayaran ritel dan mikro yang
dilaksanakan oleh industry pembayaran ritel dan mikro, seperti mendorong
interoperabilitas anterpenyelenggara, standarisasi kartu untuk pembayaran (ATM,
Kart debit) dan e-money, serta perkembangan National Payment Gateway (NPG) untuk
pembayaran ritel dan mikro. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Bank Indonesia
berkoordinasi dengan stakeholders terkait untuk mengimplementasikan inisiatif
dimaksud. Tujuan dari langkah tersebut adalah untuk menemukan solusi atas
masalah spesifik terkait system pembayaran
ritel / mikro, yang juga mendorong inovasi dalam industry pembayaran ritel dan
mikro. Peran Bank Indonseia lainnya sebagai fasilitator juga tercermin pada
diterbitkannya peraturan Bank Indonesia
No.16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran, dimana
system pembayaran, salah satunya adalah dengan memfasilitasi konsumen yang
bersengketa dengan penyelenggara system pembayaran yang berindikasi adanya kerugian
finansial bagi konsumen.
2.2.4 Bank Indonesia Sebagai Lembaga Penyelenggara
kliring Antar Bank dan RTGS
Penyediaan jasa sistem pembayaran (transfer dana) di
indonesia umumnya dilakukan oleh
perbankan dan PT pos indonesia.walaupun terdapat keterkaitan antara kedua
penyedia jasa tersebut, keduanya menggunakan sistem yang berbeda. Alat
pembayaran yang digunakan bank pada umumnya berbasis warkat dan data elektronik
dengan penyelesaian melalui kliring lokal atau antar daerah yang sebagian besar
dilakukan melalui porses kliring di Bank indonesia.
Sebagai bagian dara pelaksanaan tugas bank,indonesia
dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, pasal 17 ayat 1 UU BI
menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang
rupian dan/atau valuta asing dilakukan oleh Bank indonesia atau pihak lain dengan
persetujuan dari Bank indonesia.
Pengertian kliring menurut peraturan Bank indonesia
No.7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan PBI No. 12/5/PBI/2010 tanggal 12 maret 2010 (PBI
SKNBI) adalah pertukaran data kliring elektronik dan/atau warkat antarpeserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya
diselesaikan pada waktu tertentu.
Tujuan utama dilaksanakan kliring adalah:
1. untuk
memperlancar lalu lintas pembayaran giral antarbank diseluruh indonesia.
2. untuk
melaksanakan perhitungan penyelesaian utang piutang agar lebih mudah, aman, dan
efisien; dan
3. menjadi
salah satu bentuk pelayanan sistem pembayaran bank kepada nasabah.
Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi
kliring secara net multiterar pada
hari yang sama (T+0). Penyelesaian transaksi kliring secara net muliteral dilakukan dengan
memperhitungkan selisih (netral) antara kewajiban dan tagihan antarbank. Yang
dimaksud dengan kewajiban adalah setiap transfer kredit keluar yang ditunjukan
pada bank atau nasabah bank lain, ataupun setiap transfer debet masuk (nota
debet, Cek dan/atau Bilyet Giro) yang berasal dari bank lain. Adapun yang
dimaksud tagihan adalah setiap transfer kredit masuk dari bank lain dan/atau
transfer debet keluar (nota debet, Cek dan/atau Bilyet Giro) yang ditujukan
kepada bank lain.
Pada masa lalu ketika kliring bertumpu sepenuhnya
pada instrumen warkat penyelesaian perhitungan kliring dilakukan pada hari
kerja berikutnya (T+1). Hal ini disebabkan oleh beban proses warkat yang
relatif membutuhkan waktu proses yang lama.khususnya untuk pemrosesan warkat
Cek dan/atau Bilyet Giro yang membutuhkanwaktu prosen tambahan oleh bank untuk
meneliti kecukupan dana nasabah dan melakukan pengembalian warkan Cek dan/atau
Bilyet Giro (retur) dalam kliring pengembalian. Pengembalian warkat Cek
dan/atau Bilyet Giro dalam kliring retur atau kliring pengembalian dilakukan
bila ternyata terdapat alasan penolak warkat, yaitu antara lain seperti saldo
tidak cukup, syarat formal warkat tidak dipenuhi, dll. Dengan telah
dilakukannya otomatisasi dan penyampaian instrumen kliring secara elektronik
khususnya untuk perintah kredit dan debet (selain Cek dan Bilyet Giro), maka
saat ini penyelesain kliring telah dapat dilakukan pada hari yang sama dengan
hari kliring, bahkan pada Sistem Kliring Bank Indonesia, penyelesaian kliring
dapat dilakukan beberapa kali pada hari yang sama sehingga efektivitas dan
efisiensi sistem pembayaran di indonesia dapat semakin optimal dan memberikan
manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
a). Kliring Nasional
Bank Indonesia
Sejak tahun 2005 secara bertahap Bank Indonesia
menerapkan SKNBI dimulai dari wilayah Jakarta dan Bandung, serta Penyelenggara
Kliring Lokan (PKL) untuk wilayah Kantor Pusat dan Kantor Bank Indonesia.
Kecepatan penerimaan dana oleh nasabah penerima transfer kredit pada skala
nasional menjadi lebih baik sejak SKN diplementasikan. Oprasional bank anggota
SKN menjadi lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya karena digantinya
nota kredit dengan alat pembayaran elektronik menyebabkan bank tidak perlu lagi
mencetak nota kredit tersebiut. Desain SKN dirancang untuk memperoleh efisiensi
optimum atau memenuhi seluruh prinsip yang terkandung dalan Bank for International Settlement Core
Principles for Systemically Important Payment System (BISCP.SIPS). melalui
SKNBIK keanekaragaman sistem kliring yang selama ini ada seperti sistem kliring
manual, smi otomasi (SOKL) ataupun sistem otomasi kliring yang terdapat dalam
suatu wilayah lokal tertentu, secara perlahan dapat diintegrasikan secara
nasional sehingga terdapat keseragaman pelayanan kliring.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
mencakup kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan
secara nasional. Sejak dioperasikan oleh Bank Indonesia untuk pertama kalinya
pada tahun 2005, SKNBI telah berperan penting dalam pemrosesan aktivitas
transaksi pembayaran, khususnya untuk memproses transaksi pembayaran yang
termasuk dalam retail velue payment system
(RVPS) atau transaksi-transaksi khususnya transaksi kredit yang bernilai
relatif kecil (retail), yaitu
transaksi-transaksi dibawah Rp.100 juta. Namun demikian, untuk
transaksi-transaksi warkat debet seperti Cek dan Bilyet Giro, transaksinya
tetap dilakukan melalui proses kliring meskipun nilainya melebihi Rp.100 juta.
Penyelenggaraan kliring kredit dilakukan secara
nasional oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN). Transaksi yang dapat di
kliringkan adalah transfer kredit yang berasal dari peserta di suatu wilayah
kliring untuk ditujukan ke peserta lainnya di seluruh indonesia. Transfer
kredit yang dikliringkan berbentuk Data Keuangan Elektronik (DKE). Sedangkan
penyelenggaraan kliring debet dilakukan per wilayah kliring oleh Penyelenggara
Kliring Lokal (PKL). Transaksi yang dikliringkan adalah transfer debet yang
berasal dari warkat debet berupa Cek dan Bilyet Giro. Perbedaannya dengan transfer kredit, pada kliring debet
transfer debet yang dikliringkan adalah dalam bentuk DKE yang disertai dengan
penyampaian warkat debet seperti Cek dan Bilyet Giro.
Sebagaimana diketahui, sistem penyelesaian kliring
secara net settlement dapat
menimbulkan suatu resiko bank bersaldo debet bagi Bank Indonesia selaku
penyelenggara setelmen kliring, yaitu apabila hasil perhitungan antara
kewajiban dan tagihan suatu bank tertentu ternyata menghasilkan hasil akhir
yang bersifat negatif, yaitu dimana kewajiban bank dalam kliring bersifat lebih
besar daripada tagihannya (kalah kliring) dan saldo bank pada Bamk indonesia
tidak dapat menutuoi kekuranggannya. Oleh kerena itu, untuk mencegah
kemungkinan terjadinya gagal bayar pada saat setelmen hasil kliring oleh
peserta SKNBI, BI mewajibkan setiap peserta untuk menyiapkan sejumlah dana
dengan jumlah tertentu pada setip awal hari sebelum kegiatan kliring kredit dan
debet dimulai atau dikenal dengan istilah
minimum prefund. Penyediaan minimum
prefund pada kliring debet dapat berupa cash
maupun collateral (surat berharga).
Sedangkan penyediaan minimum prefund
pada kliring kredit hanya dapat berupa cash.
Kebijakan tersebut diterapkan untuk memenuhi prinsip-prinsip manajemen resiko
atas penyelenggaraan kliring yang bersifat multiteral
netting sesuai standar Core
Principles yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement (BIS).
Prinsip
umum SKNBI adalah sebagai berikut:
1) Kliring
terdiri atas kliring debet dan kliring kredit. Kegiatan kliring debet masih
menyampaikan fisik warkat, sedangkan kliring kredit dilakukan secara paperless.
2) Dasar
perhitungan kliring adalah data keuangan elektronik (DKE).
3) Penyampaian
DKE oleh peserta kepada penyelenggara dapat dilakukan secara on-line atau off-line.
4) Untuk
mengurangi resiko setelmen, Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring telah
menerapkan mekanisme failure to settle
(FtS) dalam penyelenggaraan kliring,
yaitu bank wajib menyediakan dana awal sebelum mengikuti kegiatan kliring debet
dan kliring kredit. Penyediaan prefund
kliring debet dilakukan dalam bentuk cash
prefund atau collateral prefund
pada kliring kredit dalam bentuk4 cash
prefund.
5) Jumlah
minimum prefund yang harus disetorkan bank pada kliring debet sebesar incoming
debet harian terbesar dalam 12 bulan terakhir, sedangkan pada kliring kredit
satu rupiah.
6) Bank
yang tidak dapat memenuhi kewaajiban prefund tidak dapat mengikuti kegiatan kliring
debet dan kliring kredit pada hari tersebut.
Sistem
kliring nasional berbeda dengan sistem kliring lainnya yang sudah ada
sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
1) SKNBI
memisahkan penyelenggarakan kliring antara kliring debet dan kliring kredit.
2) Pada
SKNBI perhitungan kriling kredit dilakukan secara nasional oleh pelenggara
kliring nasional dan perhitungan kliring debet dilakukan oleh penyelenggaran
kliring lokal. Adapun pada penyelenggara kliring lainnya, perhitungan kliring
seluruhnya dilakukan oleh penyelenggara kliring lokal.
3) Setelmen
SKNBI terpisah antara kliring debet dan kliring kredit. Setelmen kliring debet
dilakukan satu kali berdasarkan BSK nasional yang merupakan gabungan dari BSK
lokal, sedangkan setelmen kliring kredit dilakukan secara nasional berdasarkan
bilyet saldo kliring nasional. Setelmen dapat melakukan lebih dari satu kali.
4) Penyelenggara
SKNBI dibedakan atas penyelenggara kliring nasional dan penyelenggara kliring
lokal.
5) Terdapat
mekanisme failure to settle dalam penyelenggara SKNBI, yaitu bank wajib
menyediakan dana awal sebelum melakukan kegiatan kliring.
Dengan diterapkan SKNBI oleh bank indonesia, tidak
saja memberikan manfaat yang signifikan bagi bank indonesia dan perbankan,
namun juga bagi masyarakat luas pengguna sistem pembayaran ritel. Adapun
manfaat diterafkannya SKNBI bagi bank indonesia adalah : (1) efesien waktu dan
biaya operanasional kliring; dan (2) memenuhi prinsip manajemen resiko
penyelengaraan kliring multilateral netting sesuai dengan Core principles yang
ditetapkan oleh bank for indonesia settlement (BIS), sehingga dapat meniadakan
resiko setelmen bagioi bank indonesia selaku penyelenggara kliring.
Sedangkan manfaat bagi bank adalah : (1) efesien
biaya dan waktu operasional bank dalam percetakan dan proses administrasi
warkat kredit ; 10 dan (2) semakin luasnya jangkuan layanan bank kepada
masabah, Adapun manfaat SKNBI bagi masyarakat terutama adalah dengan adanya beberapa kali jadwal penyelesaian
kliring kredit dalam satu hari pada SKBNI, 11 maka dana yang ditransfer oleh
pengirim dana akan diterima lebih cepat oleh penerima dana sehingga lebih dapat
meningkatkan produktifitas perekonomian di dalam masyarakat.
b) Bank Indonesia Reak
Time Gross Setelment
Kebijakan bank indonesia di bidang
sistem pembayaran diarahkan pada pengurangan dan pencegahan resiko pembayaran
antar bank yang bersifat sistemik terutama yang diakibatnya adanya kegagalan
dalam pembayaran bernilai besar. Untuk
merealisasikan kebijakan tersebut, di kembangkan sistem stelmen berbasis Gross
dengan koneksi elektronik antar bank dan bank indonesia secara on-line. Sistem
ini dikenal dengan nama sistem bank indonesia-real time gross stelemen
(BI-RTGS). Sistem BI-RTTGS mampu menjadi sumber informasi yang bersifat untuk
bank dan pelaksanaan kebijakan moneter.
Sejak pertama kali dikembangkan dan
dioprasikan oleh bank indonesia pada tanggal 17 november 2000, BI-RTGS berperan
sangat penting dalam melakukan penyelesaian transaksi-transaksi pembayaran di
masyarakat, khusus transaksi-transaksi pembayaran yang termasuk bernilai besar
(hige velue payment system (HVPS), yaitu transaksi-transaksi yang bernilai
Rp.100 juta keatas. Transaksi HVPS saat ini nilai nominalnya telah mencapai
bangsa indonesia. Dengan jumlah nominal transaksi yang sangat besar tersebut,
sitem BI_RTGS bersifat sangat signifikan dalam sistem keuangan indonesia dapat
dikatagorikan sebagai sitem pembayaran nasional yang memiliki peran penting
yang bersifat sistemik (sytemicaally important payment system(SIPS)). Sebagai
diketahui, adanya sistem pembayaran yang aman andal dan efisien bersifat sangat
penting dalam langka efektivitas dan efisiensi sistem keuangan dan perbankan di
suatu negara. Dalam kaitan tersebut, sitem BI-RTGS saat ini tidak saja mampu
melaksanakan transfer dana bernilai besar dengan aman, andal, dan efisien.
Namun juga mampu menjadi sistem informasi lkeuangan ynag bermanfaat untuk early
warning pengawasan bank sebagai sitem yang dapat diandalkan dalam transmisi
pelaksanaan kebijakan moneter.
Oleh karena itu, saat ini telah
banyak terdapat berbagai inisatif dari berbagai lembaga internasional untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan dengan memperkuat berbagai infastruktur
keuangan di suatu negara. Salah satu inisiatif tersebut dilakyukan oleh
committe on payment and settlement system (CPSS) yang terdiri dari gabungan
seluruh bank sentral ( the central banks of the group of ten countris) yang
telah menghasilkan konsensus internasional dalam mengembangkan core principles
for sytemincally imporant payment system.
Tujuan di kembangkannya BI-RTGS
adalah:
1) Menyediakan
sarana transfer dan antar-bank yang lebih cepat, efesien, andal, dan aman;
2) Memastikan
setelmen dapat segera diproleh ;
3) Menyediakan
informasi rekening bank secara real time dan menyeluruh;
4) Meningkatkan
disiplin dan profesionalisme bank dalam mengelola likuiditasnya; dan
5) Mengurangi
resiko setelmen.
Dalam menjalankan peran sebagai pemyelenggara
(operator system pembayaran,bank indonesia memiliki tanggung jawab antar lain:
1) Menyelenggarakan
BI-RTGS dengan menetapkan prinsip efesien,cepat,aman dan andal.
2) Memberikan
penjelaskan kepada peserta mengenai resiko finasial sehubungan keikutsertaanya
dalam sitem BI-RTGS dan peserta harus menggelola resiko tersebut.
Memasukan kepatuhan peserta terhadap ketentuan
yang telah tetapkan, termasuk penerima laporan internal audit terkait
menyelenggaraan BI_RTGS oleh peserta.